Perjuangan Boneka Pustaka Mengawal Literasi Bangsa
“Bagaimana literasi bangsa ini bisa tumbuh jika buku saja jarang ditemukan di desa-desa? Bagaimana anak-anak bisa membaca jika orang tua mereka lebih memilih membeli kebutuhan pokok dari pada buku? Lantas apa yang mereka baca?,” tanya pemuda pegiat literasi desa.
Hujan rintik mulai membasahi dusun Jajar, desa Sumberjosari, Grobogan siang itu. Tampak kereta kelinci menghampiri dan parkir di depan rumah seorang pemuda. Rombongan anak-anak dari KB Pamor A Termas ini memang sudah dinanti-nanti sejak tadi pagi. Segera pemuda itu sigap mengambil payung untuk menyambut kedatangan mereka.
Gerimis hari itu memang awet sejak dini hari. Kendati demikian, tidak menyurutkan semangat kelompok bermain itu berkunjung ke rumah baca. Ya, rumah pemuda itu merupakan tempat tinggal sekaligus rumah baca. Pasalnya, selama pandemi murid-murid hanya tinggal di rumah dan baru kali ini bisa beraktivitas kembali di sekolah.
Grombolan siswa berseragam merah-abu itu seketika memenuhi seisi rumah. Canda tawa mereka pun mewarnai suasana. Ada yang berlari mengambil boneka, ada juga yang langsung mengambil buku. Semua anak membaur dengan koleksi pemuda tersebut yang di dalam rumahnya terdapat buku-buku, boneka serta mainan anak.
Tak lama kemudian, sosok pemuda muncul dibalik tirai dengan membawa buku dan menggendong boneka di depannya. Anak-anak berbondong-bondong menuju ruang tengah dan berbaris rapih di depan pemuda itu. Tanpa menunggu lama, yel-yel pun dikumandangkan sebagai tanda awal pertunjukan dongeng dimulai.
Pemuda storyteller itu pun bersiap dengan boneka yang digendongnya dan buku pop up tiga dimensi (3D) yang sudah melekat di tangannya. Serentak anak-anak pun terdiam dan semua mata tertuju pada pemuda itu.
“Bhurr, bhurr, bhurr” deru pemuda itu mengekspresikan gambar paus menyembur air. Pemuda tersebut menceritakan kisah penghuni laut melalui buku andalannya. Sesekali ia mengagetkan anak-anak dengan hentakan boneka yang digendongnya. Sorak-sorai gembira pun memecahkan keheningan suasana saat itu.
Dongeng pun berakhir, mereka lantas menirukan ekspresi dari potongan cerita dengan gembira dan bahagia. Pemuda itu berhasil menanamkan benih-benih literasi kepada anak-anak. Antusias mereka telah menjadi motor penggerak pemuda itu untuk terus menumbuhkan literasi di desa-desa. Tak hanya membagikan cerita, ia juga membagikan masker sebagai cinderamata karena telah berkunjung di rumah bacanya.
Tak lama, usai memberikan dongeng, pemuda itu pun menghampiri dan menyambut saya dengan senyum khasnya. “Begitulah kegiatan saya selama di rumah mas, mendongeng untuk anak-anak seperti mereka,” ujarnya membuka percakapan.
Yulianto (31) Pegiat literasi yang berdiri di depan rumahnya yang sekaligus menjadi taman baca Rumah Baca Bintang (Dok.Pribadi) |
Pemuda itu bernama Yulianto (31), ia merupakan pemuda yang menambatkan hatinya untuk menumbuhkan literasi di desa-desa. Tanpa dirinya, mungkin anak-anak seperti mereka akan sulit mengakses buku-buku. Adanya rumah baca yang diinisiasi olehnya, semoga menjadi setetes harapan untuk mereka yang haus ilmu.
Perjuangan pemuda asal Grobogan itu tentu perlu diacungi jempol. Berawal dari membeli dan mengumpulkan buku-buku, hingga membuat rak buku dengan peti bekas telur, perlahan ia bentuk rumah baca yang memanfaatkan ruang tamunya. Walaupun sederhana, setidaknya ia telah mewujudkan mimpinya memiliki perpustakaan.
Rak Buku yang terbuat dari Kayu bekas Wadah peti telur (Dok. Pribadi) |
Kisah perjuangannya mendirikan rumah baca tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Perlu pengorbanan dan kerja keras untuk bisa mewujudkan itu semua. Apalagi Yulianto hanyalah pemuda desa dengan kehidupan yang sederhana. Ayahnya, Musmin (61) hanya berprofesi sebagai buruh proyek dan ibunya, Soni Hidarti (53) hanyalah sebagai ibu rumah tangga.
Kendati demikian, orang tuanya tidak ingin anak bungsunya seperti anak tetangga pada umumnya. Orang tuanya ingin si bungsu menjadi sarjana. Sebab di kampungnya, gelar sarjana menjadi hal yang langka dan merupakan kemewahan yang tak terkira. Bagi mereka, pendidikan merupakan lentera yang dapat menjadi penerang dari gelapnya kehidupan.
Bertentangan dengan Hati Nurani
Pemuda yang tinggal di dusun Jajar itu merasa bersyukur bisa melanjutkan kuliah. Hobinya membaca buku, mendorongnya mengambil jurusan ilmu perpustakaan. Walaupun sempat merasa salah jurusan, hal itu tak membuat semangatnya luntur. Ia tetap berusaha agar lulus kuliah tepat waktu. Alhasil, berkat kegigihannya, ia mampu menamatkan kuliah dan mendapat gelar sarjana. Suatu pencapaian yang tentunya membuat orang tuanya bangga.
Setelah sarjana, Yulianto lantas melanjutkan misinya untuk bekerja. Tak butuh waktu lama, ia pun diterima dan ditempatkan bekerja di salah satu sekolah di daerahnya. Perjalanannya memang sedikit mulus, namun siapa sangka pekerjaannya tidak sesuai dengan yang ia harapkan.
Ia mulai resah dengan pekerjaannya. Kondisi itulah yang menyebabkan perang batin pada dirinya. Sebagai seorang sarjana perpustakaan, ia merasa tidak seperti layaknya pustakawan.
Sehari-hari ia bekerja mengolah keuangan yang berhubungan dengan angka-angka fiktif. Merasa tidak nyaman, hal itu membuat ia tidak menikmati pekerjaanya. Kendati demikian, ia memutuskan untuk mengundurkan diri dari pekerjaannya.
“Pekerjaan saya bertentangan dengan hati nurani mas, sebagai sarjana perpustakaan saya kok ndak punya perpustakaan, saya malu seolah ini tamparan buat saya” ungkapnya dengan nada lirih.
Rela kehilangan pekerjaan, membuat pemuda berkaca mata itu sempat bingung. Meyandang gelar pengangguran membuatnya tak lagi mendapatkan penghasilan. Mati satu tumbuh seribu, banyak jalan menuju Roma. Sempat berlatih storyteller, Ia tahu langkah apa yang harus dilakukan untuk bertahan hidup. Dari sinilah awal periode ia menjadi storyteller.
Melapak Baca dari Desa ke Desa
Sebagai seorang yang peduli dengan generasi muda. Yulianto perihatin dengan rendahnya literasi di Indonesia. Bahkan, Indonesia hanya menempati urutan ke 62 dari 70 negara di dunia, itu artinya Indonesia berada pada peringkat 10 terbawah dari negara lainnya (perpustakaan.kemendagri.go.id).
Berangkat dari fakta merisaukan ini, pada tahun 2011 ia mengawali perjalananya melapak baca ke sekolah-sekolah. Bermodal buku koleksi, ia hamparkan bukunya di teras sekolah. Yulianto tak hanya mengusung buku, ia juga membawa boneka untuk menarik perhatian siswa. Sesekali Yulianto bercerita dengan bonekanya, anak-anak pun semakin antusias mendengarnya.
Yulianto saat melapak baca di sekolah-sekolah (Dok. Istimewa) |
“Melihat saya datang dan membawa buku-buku, mereka seolah-olah seperti menemukan harta karun, itu yang membuat hati saya tersentuh yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata” ujarnya sambil mengelus dada.
Melihat kebahagiaan mereka, Yulianto semakin candu membeli buku, bahkan mengesampingkan kebutuhan hidupnya demi membeli buku. Menurutnya, rendahnya literasi bangsa ini bukan karena kurangnya minat baca, melainkan pendistribusian buku yang kurang merata.
Dulu sempat, bersama pegiat literasi Yulianto menggaungkan Gerakan Literasi Gratis Ongkos Kirim Buku. Hal ini tentunya direspon baik oleh bapak Presiden Jokowi pada tahun 2017 lalu, satu hari gratis ongkos kirim buku melalui PT Pos Indonesia. Namun, gerakan ini tak bertahan lama, alhasil pendistribusian buku pun menjadi terhambat.
Gerakan gratis ongkos kirim buku tersebut memberikan dampak yang luar biasa bagi masyarakat Indonesia. Yulianto berharap suatu saat, Gerakan gratis ongkir tersebut bisa kembali berlaku, agar ia dapat lebih leluasa menerima dan berbagi buku ke penjuru Indonesia.
“Sebenarnya harapan saya cukup sederhana, yaitu membuat semua orang jatuh cinta pada buku, dan membimbing generasi anak bangsa agar tetap cinta dan gemar membaca buku.” timpal Yulianto.
Setiap anak tentu adalah harapan bangsa ini. Dengan anak cinta dan gemar membaca buku, tentu akan tumbuh literasi di negeri ini. Dengan demikian, literasi akan memutus rantai kebodohan dan kemiskinan suatu bangsa.
Merilis Boneka Pustaka Bergerak
Memiliki keterampilan dalam storyteller, ia lantas memanfaatkan keahlian tersebut untuk menghibur anak-anak lewat cerita. Awalnya Ia malu ketika membaur dan bercerita dihadapan anak-anak. Tetapi, boneka yang menjadi objek cerita, hal itu mengubah rasa malunya menjadi percaya diri.
Menurutnya, Ia lebih leluasa berekspresi dengan suara yang unik dan lucu saat mendongeng, karena anak-anak akan lebih tertuju pada boneka yang ia mainkan bahkan ia jauh lebih menikmati profesinya sebagai storyteller.
Sepak terjang Yulianto dalam menebarkan nilai-nilai literasi, berbuah manis. Namanya melambung. Ia mulai dikenal oleh banyak orang dari berbagai kalangan dan komunitas pegiat literasi. Bahkan, organisasi dari perkumpulan remaja hingga komunitas hendak menjalin kerjasama dengan dirinya.
Yulianto bersama Boneka Pustaka "Nana" saat bergeriliya ke Sekolah-sekolah. (dok. Istimewa) |
Selain itu, pemuda yang akrab disapa kak Yuli itu juga kerap berpartisipasi dalam kegiatan yang bersifat ”charity” terutama bertema pendidikan anak. Ia pernah tergabung dalam Kelas Inspirasi dan juga Mendongeng Anak. Hingga akhirnya ia dipertemukan dengan platfrom pengerak literasi yang dikenal dengan sebutan Pustaka Bergerak.
Sejak menjadi bagian dari platform pegiat literasi Pustaka Bergerak, mas Yulianto mendapatkan banyak hal pembelajaran serta saran untuk membranding dirinya. Tujuannya, agar dirinya memiliki ciri khas atau keunikan tersendiri. Melalui perkumpulan ini, kemudian muncul ide untuk merilis Boneka Pustaka Bergerak yang menjadi ikon atau maskot dari mas Yulianto.
Yulianto foto bersama Boneka Nana dan Najwa Shihab (Dok. Istimewa) |
Boneka tersebut kemudian diberi nama “Nana”, terinspirasi dari sosok wanita yang juga merupakan Duta Literasi Indonesia, Najwa Shihab. Di suatu kesempatan, Yulianto dipertemukan dengan sosok Najwa Shihab. Pertemuannya tentu bukan tanpa tujuan, selain berkolaborasi dalam menyebarkan minat baca, ia juga meminta izin menggunakan nama Nana untuk menjadi sosok boneka yang mendampinginya dalam menebar benih budaya literasi.
Menebar Benih-benih Rumah Baca
Bersama komunitas GROOME (Grobogan Mengabdi), ia kerap mengadakan kegiatan untuk mengunjungi sekolah SD diplosok Se-Kabupaten Grobogan. Ia mengaku sulitnya akses menuju sekolah tersebut. Menerjang banjir, melewati jalan setapak, hingga jalan lumpur tak beraspal membuat motornya keluar masuk bengkel. Jangankan internet, akses jalan saja sulit dijangkau apalagi akses membaca buku yang sudah pasti sulit ditemukan.
Keprihatinan tersebut mendorong Yulianto untuk terus bergeriliya ke desa-desa. Namun, jika ia terus mengandalkan tubuhnya untuk menebar manfaat, hal itu dirasa sulit. Yulianto lantas memutar otak, agar walau bagaimana pun literasi harus tetap tumbuh tanpa dirinya. Sebagai pustakawan, ia berharap suatu saat bisa memiliki perpustakaan. Baginya memiliki perpustakaan merupakan wujud kepeduliannya terhadap literasi bangsa.
Seorang anak yang sedang mencari buku di Rumah Baca Bintang (Dok. Peribadi) |
Alhasil, pada tahun 2015 ia perlahan merealisasikan harapannya. Ia menginisiasi rumah baca yang saat ini dikenal dengan Rumah Baca Bintang. Berkat dukungan orang tuanya, ia memanfaatkan setengah bangunan rumahnya yang kemudian disulapnya menjadi taman baca bagi anak-anak. Buku-buku yang tersusun rapi juga merupakan buku-buku koleksinya selama ini.
“Saya merasa, jika buku-buku itu hanya saya yang baca tentu akan kurang kebermanfaatannya, oleh karena itu saya dirikan Rumah Baca Bintang ini agar anak-anak di sekitar bisa ikut membaca” ungkap mas Yulianto sambil menunjukan buku-buku koleksinya.
Hampir setiap dinding berisi rak buku yang tersusun rapi. Kendati demikian, rak tersebut hanyalah terbuat dari peti telur bekas yang ia sulap menjadi rak buku. Peti kayu tersebut ia beli seharga Rp. 2.000,- saking kurangnya tempat untuk menampung buku-buku.
Jauh sebelum kondisi rumahnya saat ini, pemuda itu mengungkapkan bahwa rumahnya dulu sangat memprihatinkan. Rumahnya baru saja direnovasi pada tahun 2020. Dulu memang terjadi banjir besar yang menimpa desa tempat tinggalnya. Hal itulah yang membuat sebagian rumahnya hampir rubuh. Kendati tersebut tak memutuskan semangat Yulianto untuk mendirikan rumah baca.
Rumah Baca Bintang merupakan nama yang diselaraskan dari nama keponakannya. Ia juga berharap suatu saat setiap anak bisa menjadi bintang untuk menerangi redupnya literasi bangsa ini. Rumahnya kini tidak hanya untuk tempat tinggal, melainkan sebagai tempat singgah bagi anak-anak yang ingin membaca dan bermain bersama.
Rumah Baca Bintang menjadi tempat persinggahan bagi anak-anak yang haus ilmu (Dok. Istimewa) |
Tak hanya Rumah Baca Bintang, ia juga menginisiasi beberapa rumah baca lainnya. Mekarnya Rumah Baca Bintang, tak lantas membuat dirinya puas. Ia bertekad untuk terus berkarya dengan mendirikan rumah baca di desa-desa terutama di Kabupaten Grobogan.
Berkat kegigihan Yulianto, hingga saat ini telah tumbuh lima rumah baca dari benih literasi yang ia tanam. Lima diantarnya yaitu Rumah Baca Bintang yang berlokasi dirumahnya, Rumah Baca Mulya Utama di Desa Dempel Kecamatan Karangrayung, Taman Baca Lurung Ceria di Desa Welahan Kecamatan Karangrayung, Padepokan Ayom Ayem di Desa Godan Kecamatan Tawangharjo, dan Teras Baca Rejosari di Desa Rejosari Kecamatan Grobogan.
Kelima rumah baca yang diinisiasi Yulianto itu memiliki penanggung jawab masing-masing dan terbuka bagi siapa saja yang ingin berkunjung. Selama pintu terbuka lebar, siapa saja boleh datang dan membaca secara gratis.
Mengawal Tumbuhnya Literasi Bangsa
Sosok Yulianto merupakan sosok pemuda yang luar biasa. Tak hanya peduli isu pendidikan, sosok Yulianto juga peduli terhadap kesehatan. Setiap ada kesempatan, ia selalu mendonorkan darah. Kegiatan tersebut rutin ia lakukan atas dasar kepeduliannya terhadap sesama. Hal itu terbukti dengan beberapa penghargaan terpajang di dinding rumahnya, sudah tiga kali ia menerima apresiasi dari PMI unit Kab. Grobogan.
Penghargaan Donor Darah dari PMI Kab. Grobogan (Dok. Pribadi) |
Namun, kondisi Yulianto saat ini berbeda. Ia tidak sebugar dulu. Ia mengidap penyakit yang membuat daya tubuhnya melemah. Hal tersebut ia ketahui sewaktu akan mendonorkan darah. Ia divonis terdapat virus pada tubuhnya, akibatnya dirinya tidak bisa melakukan transfusi darah lagi. Dirinya depresi lantaran tidak bisa melakukan rutinitasnya sebagai pendonor. Sempat dirundung kesedihan yang luar biasa, namun ia tetap ikhlas menerima nasib yang telah ditakdirkan padanya.
Walaupun pintu kebaikannya tertutup satu, baginya masih ada pintu-pintu kebaikan lainnya yang terbuka lebar. Ia kembali bersemangat dan mencoba bangkit dari keterpurukan.
Namun, belum sempat ia menegakkan badan, musibah datang silih berganti. Ia mengalami kecelakaan disaat perjalananya menuju lapak baca. Peristiwa ini pun membuat tulang lengan dan tempurung lututnya retak. Tak bisa dipungkiri, hampir dua bulan lamanya dirinya tak bisa beraktivitas seperti biasa. Kendati demikian, semangatnya tak pernah retak. Perjuangannya untuk menebarkan budaya literasi harus tetap bergerak
Lagi-lagi, ketangguhannya kembali di uji dengan adanya pandemi. Belum sempat menghidup udara bebas, pandemi merebak menghalau pergerakan pemuda itu. Yulianto terpaksa memutar otak agar apa yang ada pada dirinya tetap bisa bermanfaat untuk orang banyak. Alhasil, karena merasa kasihan dengan anak-anak yang tidak bisa beraktivitas, maka dari itu koleksi boneka yang hampir memenuhi lemari, ia bagikan kepada anak-anak. Ia juga mempersilahkan anak-anak yang ingin meminjam buku untuk dibawa ke rumah.
Pandemi, tidak menyurutkan pemuda itu untuk terus menebar benih literasi. Walaupun kegiatan di rumah-rumah bacanya terhenti. Dengan berbagai kegiatan via online ia juga lakukan agar tetap berbagi manfaat untuk masyarakat luas. Berbagai kegiatan yang ia lakukan diantaranya Gebyar Rumah Peradaban, Hari Aksara Hari Kita Semua, Pustaka Jendela Dunia, dan berbagai kegiatan lainnya.
Yulianto bersama Boneka Pustaka memegang Penghargaan SIA Tingkat Provinsi 2021 dari Astra Internasional (Dok. Pribadi) |
Berkat semangat dan dedikasi Yulianto bersama Boneka Pustaka dalam menebar benih literasi rupanya membuahkan apresiasi yang menobatkan dirinya sebagai penerima Penghargaan SATU Indonesia Awards (SIA) Tingkat Provinsi Jawa Tengah 2021 dari Astra Internasional.
Kiprah Yulianto, tentunya selaras dengan pilar CSR Astra pada bidang pendidikan. Astra berharap semangat dan dedikasi yang dihadirkan Yulianto, dapat menginspirasi pemuda lain di seluruh penjuru negeri.
Bagi Yulianto, penghargaan Satu Indonesia Award menjadi langkah baru untuk bergerak. Menebarkan informasi literasi dan memberikan dampak yang lebih luas. Bersama panca pustakanya, Yulianto pun berharap agar apa yang telah ia perjuangkan bersama Boneka Pustaka, menjadi inspirasi banyak orang untuk melakukan hal baik. Tekadnya untuk menebarkan benih literasi, telah menjadi amanah dalam dirinya untuk mengawal literasi bangsa agar terus tumbuh.
“Sudah saatnya Indonesia menjadi lautan buku”
--- Yulianto, S.I.Pust ---
7 comments
Jadi kurangnya minat baca di Indonesia bukan karena kurang suka baca buku tapi karena kurang meratanya distribusi buku ya mas?
Salam buat mas Yulianto, ya mas! :))